SHARE

Gudang Mesiu Kerajaan Riau-Lingga-Pahang, salah satu aset budaya di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. (istimewa)

Sultan Mahmud menolak berunding dengan Belanda. Oleh karena itu, pada 30 Oktober 1784 Belanda menyurati Baginda. Pada 31 Oktober, pagi-pagi sekali Raja Ali dan pasukannya keluar meninggalkan Riau dalam hujan lebat. Setelah mengetahui kepergian Yang Dipertuan Muda V itu, Belanda mengundang Sultan ke kapal perang Utrecht pada 31 Oktober untuk berunding tentang perdamaian di antara mereka.

"Sultan lagi-lagi menolak permintaan Belanda," ucapnya, yang juga penulis buku sejarah kejayaan melayu di masa kerajaan.

Akhirnya, pada 1 November 1784 disetujui perjanjian antara Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan VOC-Belanda, yang ditandatangani oleh Raja Tua, Bendahara, Indera Bungsu, dan Temenggung (Netscher, 1870). Akan tetapi, ketiga tokoh itu tak berhak mengatasnamakan Sultan. Sultan Mahmud tak mengakui perjanjian tersebut.

Perjanjian

Pada 10 November 1784 disepakati lagi perjanjian dengan VOC-Belanda, yang ditandatangani oleh Raja Tua, Bendahara, dan Temenggung. Sultan Mahmud tak menyetujuinya karena Baginda menyadari bahwa perjanjian itu sangat merugikan kerajaannya. Netscher (1870) mengatakan, “Sultan tak berada dalam keadaan siap melaksanakan isi surat perjanjian tersebut.” Begitulah kokohnya sikap Sultan Mahmud.

Juni 1785 Belanda membangun benteng di Tanjungpinang dan menempatkan David Ruhde sebagai Residen Belanda di Riau. Sultan Mahmud semakin memusuhi Belanda, begitu pula sebaliknya.

Secara rahasia pada Desember 1786 Baginda Sultan mengutus Encik Talib menemui Raja Tempasuk, penguasa bajak laut Ilanun di Sabah, Kalimantan. Warkahnya berisi permintaan bantuan untuk menyerang Belanda di Tanjungpinang.

"Pada 7 Februari 1787 Belanda kembali memaksa Baginda untuk menandatangani perjanjian. Permintaan Belanda itu juga ditolak," tutur Malik.

Ternyata, permintaan Baginda dikabulkan oleh Raja Tempasuk. Sejak 2 Mei 1787 mulailah berdatangan armada kapal perang Raja Tempasuk, penguasa bajak laut Ilanun, 40-55 kapal dengan kekuatan 2.000 prajurit ke Tanjungpinang.

Kekuatan itu kemudian ditambah lagi menjadi 90 kapal perang dengan 7.000 prajurit Tempasuk dan Sulu. Armada kapal itu rata-rata panjangnya 80-90 meter.

Pasukan gabungan Kesultanan Riau-Lingga dan bajak laut Tempasuk menyerang Belanda di Tanjungpinang. Perang Riau II pun dimulai yang puncaknya pada 10-13 Mei 1787. Perlawanan pasukan pribumi itu berhasil meranapkan (menghancurkan) garnizun Belanda di Tanjungpinang dan menewaskan tentara musuh.

David Ruhde, Residen Belanda, terpaksa menyelamatkan diri, lari ke Melaka, markas mereka kala itu.

Perang Mei 1787 yang dipimpin langsung oleh Sultan Mahmud telah dimenangkan oleh pasukan maritim pribumi. Itulah perang yang tergolong yang paling hebat di pusat Kesultanan Riau-Lingga kala itu, Tanjungpinang.

Halaman :