SHARE

Istimewa

Subsektor film, animasi, dan video merupakan subsektor dengan persentase kepemilikan HAKI tertinggi sebesar 12,21 persen, sedangkan subsektor fotografi memiliki persentase kepemilikan HAKI terendah yang sebesar 1,07 persen.

Data Kemenparekraf juga mencatatkan informasi yang cukup mencengangkan, bahwa hanya 27,63 persen usaha ekraf menganggap HAKI penting dengan subsektor desain komunikasi visual yang paling merasakan urgensi itu, yakni sebesar 70,92 persen dari total seluruh pelaku usaha di subsektor tersebut.

Kemudian, 72,37 persen pelaku ekraf belum merasakan urgensi memiliki hak untuk memperoleh perlindungan secara hukum atas kekayaan intelektual dengan subsektor kuliner yang paling tidak terlalu menganggap memiliki HAKI itu penting, yaitu sekitar 23,15 persen dari total seluruh pelaku kuliner.

Paparan data di atas memberikan petunjuk bahwa persoalan utama yang perlu diatasi terlebih dahulu ialah meningkatkan kesadaran pelaku ekraf terhadap HAKI.

Dalam konteks itu, tak heran Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menyatakan problem tersebut menjadi pekerjaan rumah terbesar Kemenparekraf.

“Kita harus terus sosialisasi dan edukasi. Kemenparekraf melakukan program fasilitasi kekayaan intelektual (secara gratis) mulai dari sosialisasi dan fasilitasi pendaftaran kekayaan intelektual, indikasi geografis produk-produk yang memiliki keunggulan karena faktor geografis seperti kopi arabika Samosir dari Sumatera Utara, bareh/beras Solok dari Sumatera Barat, dan gula aren Atinggola dari Gorontalo Utara,” ujar dia.

Selain itu, diperlukan pula pelatihan melalui metode training of trainer (ToT) yang membahas tentang kekayaan intelektual kepada komunitas ekraf maupun institusi pendidikan.

Kehadiran PP No. 24/2022 membuka ruang pembicaraan dari pelbagai kalangan terutama berkaitan dengan HAKI. Hal itu dapat dikatakan sebagai momen yang penting untuk digarisbawahi mengingat kesadaran pelaku usaha ekraf terhadap HAKI masih rendah.

Halaman :
Tags
SHARE