SHARE

Ilustrasi

CARAPANDANG.COM - Peringatan hari santri tahun ini terasa berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh situasi pandemik Covid-19 yang membebat Indonesia hampir tujuh bulan lamanya, terhitung sejak dikonfirmasi pertama kali pada Maret lalu.

Pandemik Covid-19 suka tidak suka "memaksa" masyarakat untuk melakukan pembatasan fisik dan sosial (physical and social distancing) guna mencegah meluas-nya penyebaran virus. Namun demikian, di sisi lain, situasi pandemi Covid-19 juga menjadi pemantik (trigger) bagi segenap komponen bangsa, tak terkecuali para santri, untuk bahu-membahu berkontribusi bagi negeri di masa krisis.

Krisis di berbagai bidang kehidupan akibat pandemi Covid-19 menjadi batu uji bagi para santri untuk merumuskan strategi dan solusi sebagai bentuk tanggung jawab dan peran serta dalam menopang ketahanan bangsa dan negara.

Sisi historis

Kaum santri memiliki sejarah panjang dalam perjuangan melawan krisis apabila kita melacak kembali pada sejarah perjuangan bangsa di masa revolusi fisik, khususnya periode 1940-an. Inilah yang menjadi cikal-bakal ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai hari santri. Pada masa itu, krisis yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah krisis politik dan keamanan sebagai konsekuensi sebuah "negara muda" yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan dan hendak direnggut kembali kemerdekaan tersebut oleh kekuatan kolonial.

Belanda sebagai kekuatan kolonial yang telah menjajah Indonesia sekian abad lamanya hendak mengambil kembali kontrol terhadap pemerintahan Indonesia dengan membonceng sekutu (Inggris) yang telah menundukkan Jepang, penjajah terakhir Indonesia.

Hal ini menjadi pemicu lahirnya resolusi jihad yang diserukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari agar para ulama dan kaum santri bersatu padu mempertahankan kemerdekaan. Resolusi jihad yang diserukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari tersebut memiliki dampak dan konsekuensi yang signifikan bagi perjuangan bangsa.

Resolusi jihad menjadi poin artikulasi penting bahwa kaum santri dan ulama tidak dibatasi oleh sekat-sekat golongan dalam berjuang. Bagi kaum santri dan juga ulama, perjuangan melawan kezaliman penjajah dan sikap tegas untuk mempertahankan kemerdekaan merupakan kewajiban bela negara yang harus dipanggul oleh siapa pun yang menyebut dirinya sebagai Indonesia, terlepas dari perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan.

Pada tataran lebih lanjut, resolusi jihad tersebut menjadi pemicu berkobar-nya semangat rakyat Indonesia untuk melebur bersama santri menjadi satu kekuatan besar nan-solid dalam menghadapi tentara Belanda yang hendak masuk kembali menjajah Indonesia. Perlawanan santri bersama rakyat ini bahkan berujung pada tewasnya komandan sekutu, Brigadir Jenderal Mallaby, yang tewas dalam pertempuran yang berlangsung pada 27-29 Oktober 1945, sehingga memicu peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Krisis multisektor

Indonesia dewasa ini memasuki periode sulit. Bukan saja karena pandemik yang meremukkan berbagai sektor kehidupan dan belum bisa diprediksi kapan akan berakhir, tapi juga ancaman, gangguan, hambatan, serta tantangan (AGHT) yang sebelumnya sudah eksis dan masih belum bisa diatasi sepenuhnya sampai saat ini.

Dalam konteks ideologi, masih ada pihak-pihak yang mempertentangkan antara negara dan agama. Hal ini merupakan residu dari formulasi dasar negara di masa lampau. Padahal sudah sangat jelas bahwa Pancasila secara eksplisit meletakkan nilai ketuhanan sebagai sila pertama yang mendasari sila-sila selanjutnya dalam Pancasila.

Masih dalam bingkai ideologi, masyarakat Indonesia juga masih dibekap rasa takut akan kemungkinan bangkitnya komunisme. Ketakutan akan komunisme semakin memuncak tatkala ada pihak-pihak yang mengamplifikasi ketakutan ini setiap peringatan G30S/PKI pada 30 September. Situasi ini tidak dimungkiri menimbulkan suasana yang tidak kondusif dan dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam konteks politik dan hukum, situasi Indonesia hari ini tidak bisa dikatakan bebas dari krisis. Politik yang sejati-nya good life and good for mankind, masih dimaknai oleh beberapa pihak sebagai sarana perebutan kedudukan dan kekuasaan; how to gain and retain the power. Sebagai konsekuensi-nya, upaya mewujudkan tujuan nasional, yakni masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tidak bisa segera terlaksana.

Mereka yang duduk di panggung kekuasaan dan di luar kekuasaan seperti oposisi dan kelompok masyarakat sipil masih belum satu perspektif dan visi dalam mengolah perbedaan agar menjadi satu kekuatan positif yang mampu berkontribusi bagi kemajuan bangsa.

Di level ekonomi, kita harus jujur bahwa upaya mewujudkan cita-cita kemandirian ekonomi dan berkhidmat pada prinsip ekonomi Pancasila atau ekonomi kerakyatan masih merupakan jalan panjang untuk diwujudkan secara paripurna. Kita masih tergoda untuk berjalan pada pola pikir kapitalistik yang senyata-nya tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa.

Pandemi Covid-19 menjadi fenomena gunung es atas berbagai krisis yang sudah menerpa sebelumnya. Kehadiran pandemi yang menghantam tanpa pandang bulu; tak peduli agama, status sosial, kaya atau miskin, telah menghadirkan ujian keras bagi ketahanan nasional.

Pandemi benar-benar menguji apakah para elite bangsa telah berkhidmat pada prinsip yang digariskan konstitusi (kebijakan yang konstitusional), apakah pola ekonomi yang dijalankan telah sejalur dengan prinsip ekonomi Pancasila dan kerakyatan, apakah masyarakat Indonesia masih memegang erat tradisi paguyuban atau gotong royong dalam kehidupan mereka.

Secara singkat, pandemi Covid-19 menjadi momentum penggugah kesadaran bangsa Indonesia apakah telah berkhidmat pada nilai-nilai budayanya dalam menjalankan praktik politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, atau justru sebaliknya.

Modalitas kaum santri

Deskripsi berbagai persoalan di atas menjadi tantangan yang tak mudah untuk dijawab oleh kaum santri di masa kini, termasuk juga segenap elemen bangsa lainnya. Masing-masing sektor kehidupan memiliki kompleksitas permasalahannya sendiri-sendiri, bahkan terhubung satu sama lain.

Perjuangan pada masa revolusi fisik dengan mengusir Belanda dan sekutu sejujurnya lebih mudah karena yang menjadi musuh sangatlah jelas; Belanda dan Inggris sebagai kekuatan kolonial. Dewasa ini, lawan bersifat asimetris dan sulit dipetakan, serta bergerak dalam lajur multidimensi. Covid-19, misalnya, meskipun berdimensi fisik, akan tetapi sungguh tak mudah dihadapi karena ukurannya yang sangat kecil. Belum lagi dampaknya yang luar biasa terhadap berbagai sektor kehidupan.

Namun demikian, terlepas dari berbagai kompleksitas dan kerumitan permasalahan yang ada, kaum santri memiliki modalitas yang sangat besar untuk berkontribusi menghadapi krisis yang ada.

Modalitas pertama yang dimiliki adalah pemahaman yang matang dan komprehensif akan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan. Bagi kaum santri, pertentangan antara negara dan agama sudah selesai ketika Pancasila sebagai dasar negara berhasil dirumuskan. Pancasila sebagai ideologi telah mengakui nilai ketuhanan sebagai unsur vital dan determinan utama dalam menjalankan praktik kebangsaan dan kenegaraan.

Prinsip inilah yang mendorong kaum santri dan ulama di masa silam untuk bahu-membahu mengangkat senjata melawan penjajah. Prinsip dan keyakinan tersebut jugalah yang menjadi pijakan bagi kaum santri untuk terus berkontribusi bagi pembangunan nasional hingga hari ini. Pemahaman yang matang inilah yang hendaknya ditularkan oleh para santri dalam kehidupan sehari-hari, termasuk melalui media sosial. Hal ini dapat mencegah segregasi bangsa yang dihembuskan oleh pihak-pihak yang tak hendak Indonesia menjadi negara yang damai dan sejahtera.

Modalitas kedua adalah nilai-nilai kedisiplinan yang tinggi dalam laku hidup sehari-hari. Kedisiplinan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan para santri. Kedisiplinan merupakan hal yang sangat mahal mengingat tak semua orang mampu berdisiplin dalam hidup, apalagi prinsip.

Pandemik Covid-19 menjadi momentum penegas bahwa kedisiplinan menjadi senjata utama para santri dalam memerangi pandemik. Mereka tidak hanya konsisten dan persisten dalam mematuhi protokol kesehatan seperti selalu mencuci tangan, menggunakan masker, hingga melakukan pembatasan jarak dan sosial, tapi juga mampu menjadi teladan dan menginspirasi masyarakat sekitar untuk displin mematuhi protokol kesehatan tersebut.

Inilah yang menjadi kausa mengapa banyak pondok pesantren yang telah berhasil melakukan upaya pencegahan, pengendalian, serta penanganan dampak pandemik Covid-19.

Modalitas yang ketiga adalah komitmen yang kuat untuk menyelaraskan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dengan keimanan dan ketaqwaan (Imtaq). Perkembangan Iptek dewasa ini sungguh-lah pesat, apalagi dikatalisasi oleh globalisasi dan revolusi 4.0. Dengan Iptek yang tinggi, segala kebutuhan dapat dipenuhi secara praktis dan efisien.

Di era pandemik ini, misalnya, setiap negara berlomba-lomba untuk menemukan obat dalam menangani Covid-19. Namun demikian, Iptek yang dikembangkan tak akan membawa kemaslahatan apabila tidak diimbangi dengan penguatan Imtaq. Tanpa Imtaq yang baik, obat Covid-19 dapat dikomersialisasi dan dikomodifikasi bagi kepentingan segelintir pihak yang menemukan.

Tanpa Imtaq yang baik, kemajuan Iptek dapat disalahgunakan untuk mencapai keuntungan dengan melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan. Inilah yang menjadi modalitas penting yang dimiliki oleh kaum santri dalam mengawal kontribusi mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Masih banyak lagi modalitas lainnya yang dimiliki oleh para santri mengingat mereka adalah kaum yang sangat berkhidmat menggali nilai-nilai luhur agama dan budaya bangsa. Namun demikian, ketiga hal di atas adalah modalitas paling dasar dan relevan yang dimiliki oleh kaum santri untuk berkontribusi nyata dalam merespons situasi krisis yang dihadapi oleh Indonesia saat ini, utamanya krisis akibat pandemik Covid-19.

Dengan ketiga modalitas tersebut, kaum santri diharapkan dapat menjadi suluh bagi masyarakat untuk tidak berputus asa dalam melawan situasi krisis hari ini, terus melakukan kegiatan positif dan produktif, merekat persatuan dan kesatuan bangsa, serta senantiasa mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran pandemik Covid-19.

Selamat hari santri 22 Oktober 2020. Santri sehat Indonesia kuat. [**]

**Oleh : Dr. H. Jazilul Fawaid, S,Q., M.A.
Penulisan merupakan Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024.  Tulisan ini sudah terbit di situs Antara dengan judul Peran Santri di Masa Krisis.Â